Denpasar – Momen sakral pengibaran sang saka merah putih bukan hanya menjadi simbol kemerdekaan negara, tetapi juga kemerdekaan setiap individu. Sayangnya, hari ini kemerdekaan itu direnggut oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Korps HMI Wati (Kohati) Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI) Cabang Denpasar, Bali mengecam BPIP yang telah melarang penggunaan hijab bagi Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) Putri. BPIP yang seharusnya mencerminkan pancasilais justru menjadi terduga utama yang melunturkan nilai-nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.
Ketua umum Kohati Cabang Denpasar, Sahara Putri Ayu K.G mengatakan, tekanan struktural menjadi kendala para paskibraka putri. Mereka dihadapkan pada pilihan terbatas antara menjalankan keyakinan atau mengemban tugas negara. “Pilihan tersebut bukanlah kesepakatan atas kesukarelaan melainkan kepatuhan yang terpaksa,” ujar Sahara dalam siaran pers yang dikeluarkan pada Jumat, 16 Agustus 2024. Ia menyebut, kebebasan individu dalam mengekspresikan keyakinan agama tidak bisa dinegosiasikan dalam bentuk apapun, pelarangan tersistematis tersebut telah melanggar asas Ketuhanan dan merenggut Hak Asasi Manusia (HAM).
Menilik dari Surat Keputusan Kepala BPIP Nomor 35 Tahun 2024 tentang standar pakaian, atribut, dan sikap tampang Paskibraka telah menghapuskan poin 4 pada Lampiran Peraturan BPIP Nomor 3 Tahun 2022 BAB VII tentang Tata Pakaian dan Sikap Tampang Paskibraka yang mengatur terkait ketentuan putri berhijab. Penghapusan ketentuan tersebut menjadi dasar tidak diperbolehkannya Paskibraka putri menggunakan hijab (ciput warna hitam) atas dalih keseragaman.
Sahara mengungkap, pembelaan yang dilakukan oleh Prof. Yudian Wahyudi, M.A., Ph.D. selaku Kepala BPIP tidak dapat dibenarkan. Meski bertameng pada regulasi surat keputusan Kepala BPIP yang telah dilegalkan olehnya, seharusnya sangat paham tentang agama dan syariat islam. Nilai luhur Bhinneka Tunggal Ika mengajarkan masyarakat Indonesia untuk menjunjung tinggi keberagaman dalam persatuan, bukan keseragaman dalam persatuan. “Menyamakan seragam tidak boleh sampai menggadaikan identitas agama apalagi merenggut HAM,” tegas Sahara.
Surat Keputusan Kepala BPIP Nomor 35 Tahun 2024 telah melanggar asas lex superior derogate legi inferiori dimana peraturan tersebut bertentangan dengan tata aturan yang lebih tinggi diatasnya yakni Pasal 29 UUD 1945 dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Oleh karena itu, Kohati HMI Cabang Denpasar, Bali menuntut kepada pemerintah agar mencopot Jabatan Kepala BPIP Prof. Yudian Wahyudi, M.A., Ph.D. dan memberikan sanksi tegas sesuai hukum yang berlaku atas pelanggaran terhadap konstitusi dan dasar negara Pancasila.
Sahara menyebut, tuntutan lainnya yakni mendorong Presiden Ir. H. Joko Widodo untuk mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) dalam menangani kasus ini sehingga peristiwa sakral pengibaran bendera merah putih pertama kali di Ibu Kota Negara (IKN) nanti tepatnya pada 17 Agustus 2024 tidak terciderai. Akibat peristiwa inkonstitusi dan lunturnya nilai-nilai Bhineka Tunggal Ika. “Inpres tersebut menjadi penguat hukum bahwa diharapkan kedepannya tidak ada lagi larangan serupa dalam seluruh kegiatan termasuk acara sakral saat menjalankan tugas kenegaraan,” lugasnya.
Kohati Cabang Denpasar juga meminta atensi terhadap Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) untuk memberikan dukungan sosial dan psikologis terhadap 18 Paskibraka Putri yang mendapatkan sikap intoleransi, diskriminasi, dan tekanan psikis. (*)